Acara ini diikuti oleh puluhan mahasiswa teologi dari berbagai kampus di Jayapura, seperti STT Walter Post, STT Baptis Papua, STT Seminary, STT GIDI Papua, STT Levinus Rumasen, STAKPN Burere, STFT Fajar Timur, STFT GKI Izaak Samuel Kijne, serta mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu lainnya.
Diskusi Dihadiri Puluhan Mahasiswa Teologi dan Sekuler
Diskusi ini dipandu oleh Yoi Wenda (STT Walter Post) sebagai pengarah acara (MC), sementara Yelpit Wakerwa (Ketua BEM STT Baptis Papua) bertindak sebagai moderator. Materi utama disajikan oleh dua narasumber, yakni Roniel Mirin (Ketua BEM STT Walter Post) dan Nabi Wahyu Heluka (mantan Ketua BEM STT Walter Post).
Dalam pemaparannya, Roniel Mirin menekankan bahwa Injil kebenaran Yesus Kristus harus berakar dalam eksistensi antropologi agar dapat tumbuh dan berbuah di dalam kehidupan umat Tuhan di Papua. Ia mengutip perumpamaan dalam Alkitab tentang benih yang jatuh di berbagai tempat sebagai gambaran bagaimana Injil diterima dan dihidupi oleh masyarakat Papua.
"Kondisi kehidupan umat Tuhan di tanah Papua menghadapi berbagai tantangan, baik secara internal maupun eksternal. Masalah kemiskinan, kesehatan, pendidikan, ekonomi, politik, dan sosial budaya semakin hari menunjukkan bahwa orang Papua sedang dimarginalisasi di tanah mereka sendiri," ujar Roniel.
Ia juga mempertanyakan peran gereja dalam menghadapi realitas ini. "Kehidupan orang Papua sebagai citra dan gambar Allah semakin hari semakin hilang. Di mana eksistensi gereja dalam mempraktikkan Injil kebenaran Yesus Kristus?"
Tantangan Gereja di Papua yang Masif dan Sistematis
Sementara itu, Nabi Wahyu Heluka, sebagai narasumber kedua, menyoroti tantangan yang dihadapi gereja-gereja di Papua. Menurutnya, tantangan tersebut bersifat masif, terstruktur, dan sistematis (STM), baik secara internal maupun eksternal.
"Tantangan gereja secara internal mencakup masalah spiritual jemaat, pembinaan pemuda, dan pengembangan peran perempuan dalam gereja. Sedangkan tantangan eksternal meliputi pelayanan bagi jemaat di pengungsian, perampasan tanah adat, diskriminasi rasial, serta kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan," ungkapnya.
Ia menegaskan bahwa mahasiswa teologi harus menjadi bagian dari solusi. "Kami harus berani melihat, mendengar, berbicara, dan bertindak demi kebenaran Yesus Kristus," tambahnya.
Peran Mahasiswa Teologi sebagai Pemimpin Masa Depan Gereja
Ketua POM STT JP, Yustinus Mirin, menegaskan pentingnya mahasiswa teologi dalam membangun konsep pelayanan yang sesuai dengan teladan Yesus Kristus.
"Generasi Yosua, yaitu mahasiswa teologi saat ini, adalah pemimpin masa depan gereja. Mereka harus memiliki konsep dan gagasan pelayanan yang didasarkan pada ajaran Yesus sebagai rujukan utama," ujarnya.
Ia juga menekankan bahwa kebersamaan dalam POM STT JP adalah kekuatan utama dalam membangun refleksi, evaluasi, dan kesadaran kolektif atas kondisi umat Tuhan di Papua.
Eksistensi Papua dan Peran Mahasiswa Teologi
Sementara itu, Ukima Kambue (Mahasiswa STFT Izaak Samuel Kijne) menyoroti bahwa secara historis, bangsa Papua telah memiliki eksistensi yang kuat sebelum kehadiran gereja dan pemerintahan kolonial di tanah Papua.
"Secara antropologis, kehidupan masyarakat Papua sangat berbeda dengan bangsa Melayu (Indonesia). Perjumpaan pertama dengan dunia luar pada tahun 1855 harus menjadi rujukan reflektif bagi orang Papua untuk membangun kembali eksistensinya sebagai bangsa yang berdaulat," jelas Ukima.
Menurutnya, mahasiswa teologi perlu bekerja sama dan berkolaborasi untuk mewujudkan Injil kebenaran Yesus Kristus di tanah Papua.
Diskusi sebagai Sarana Meningkatkan Kualitas Mahasiswa Teologi
Diskusi publik ini menjadi ajang yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas mahasiswa teologi agar lebih kritis, objektif, dan realistis dalam melihat dinamika persoalan di Papua.
Ruang diskusi ini juga menjadi tempat membangun kebersamaan dan persekutuan Oikumene yang lebih edukatif dan kontekstual. Hal ini selaras dengan doa Yesus dalam Yohanes 17, yang menekankan persatuan di antara umat-Nya.
Antusiasme peserta dalam diskusi ini menunjukkan bahwa kesadaran intelektual mahasiswa teologi di Papua terus bertumbuh, sehingga diharapkan mereka dapat menjadi agen perubahan dalam pelayanan gereja dan masyarakat.
(Sumber : Nabi W. Heluka)
0 Komentar