Yahukimo, Olemah.com – Sejumlah pelajar yang tergabung dalam Front Aliansi Pelajar Se-Yahukimo menyampaikan penolakan terhadap program makan bergizi gratis yang dicanangkan pemerintah. Mereka menilai kebijakan tersebut tidak tepat sasaran dan justru mengabaikan masalah mendasar dalam dunia pendidikan, terutama di daerah tertinggal seperti Yahukimo, Papua Pegunungan.
Pendidikan seharusnya menjadi alat untuk membebaskan manusia dari ketertindasan, baik secara fisik maupun mental. Namun, realitas yang terjadi justru berbanding terbalik. Pendidikan nasional saat ini dikritisi karena telah mengalami kapitalisasi, privatisasi, komersialisasi, dan liberalisasi, yang menyebabkan akses pendidikan semakin sulit bagi masyarakat kurang mampu.
Kritik Terhadap Program Makan Gratis Dalam 100 hari pertama pemerintahannya, Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mengumumkan akan melaksanakan program makan bergizi gratis mulai 6 Januari 2025 dengan alokasi dana 20% dari total Rp 71 triliun untuk program ini sepanjang tahun 2025. Namun, program ini mendapat sorotan tajam karena dianggap tidak melibatkan kajian mendalam dari ahli gizi dan tidak melalui survei dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Para pelajar menyoroti bahwa menu yang disediakan, seperti kentang goreng, burger keju, nugget ayam, dan makanan manis, tidak sesuai dengan standar gizi yang sehat bagi siswa. Mengonsumsi makanan dengan kadar lemak jenuh yang tinggi dapat mengganggu daya ingat dan proses pembelajaran siswa, bahkan berpotensi menyebabkan berbagai masalah kesehatan seperti kerusakan ginjal, pembuluh darah, dan saraf. Dampaknya, prestasi siswa bisa menurun akibat pola makan yang tidak sehat.
Minimnya Infrastruktur Pendidikan di Yahukimo Di sisi lain, kondisi pendidikan di daerah terpencil seperti Yahukimo masih sangat memprihatinkan. Banyak sekolah masih memiliki bangunan ala kadarnya, sementara para siswa tidak mampu membeli seragam, buku, bahkan alas kaki untuk ke sekolah. Ironisnya, alokasi anggaran pendidikan dari pusat sering kali tidak sampai ke daerah-daerah ini, sementara pemerintah justru lebih mengutamakan program makan gratis.
Selain itu, berdasarkan survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Juni 2024, ditemukan bahwa 33% sekolah berpotensi melakukan penyalahgunaan dana pendidikan. Sebanyak 13,39% di antaranya menyatakan bahwa penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tidak sesuai dengan peruntukannya. Hal ini memperlihatkan masih adanya celah korupsi dalam sistem pendidikan Indonesia yang belum tertangani secara serius.
Kritik terhadap Keterlibatan Militer dalam Program Makan Gratis Salah satu aspek yang juga dipermasalahkan oleh pelajar Yahukimo adalah keterlibatan militer dalam distribusi makanan gratis. Mereka mempertanyakan mengapa program ini tidak dijalankan oleh pihak yang lebih berwenang seperti Posyandu, sekolah, UMKM, atau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Keterlibatan militer dalam distribusi makanan ini dinilai menimbulkan trauma dan prasangka di kalangan masyarakat Papua, sehingga memunculkan pertanyaan mengenai motif di balik kebijakan ini.
Tuntutan Front Aliansi Pelajar Se-Yahukimo Atas dasar berbagai permasalahan tersebut, para pelajar yang tergabung dalam Front Aliansi Pelajar Se-Yahukimo menyampaikan beberapa tuntutan kepada pemerintah, antara lain:
1. Menolak keras program makan siang gratis.
2. Mewujudkan pendidikan yang gratis, ilmiah, dan demokratis.
3. Menolak segala bentuk militerisme di dunia pendidikan.
4. Memberikan jaminan pendidikan, kesehatan, dan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
5. Menghentikan perampasan hak-hak masyarakat adat di tanah Papua.
6. Mencabut militer organik dan non-organik dari wilayah Papua.
Mereka juga menekankan bahwa seharusnya anggaran program makan gratis dialihkan kepada orang tua siswa agar mereka bisa menyiapkan makanan bergizi di rumah serta memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anak mereka, seperti seragam, buku, dan alat tulis.
Dalam momentum penolakan program makan gratis ini, para pelajar Yahukimo berharap pemerintah dapat lebih fokus pada peningkatan kualitas pendidikan yang sesungguhnya, bukan hanya sekadar memberikan makan gratis. Pendidikan bukanlah sekadar warung makan, tetapi tempat belajar yang harus didukung dengan fasilitas dan kebijakan yang benar-benar meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Indonesia.
Pernyataan sikap ini disampaikan oleh Front Aliansi Pelajar Se-Yahukimo pada 3 Februari 2025, dengan Koorlap Umum Feron Kabak dan Ketua Doni Siep yang mewakili orang tua siswa dan pengurus aliansi tersebut.
(Ardi Bayage)
0 Komentar