Menurut Pakage, penolakan ini didasari pada sejarah panjang transmigrasi di Papua yang dimulai sejak masa penjajahan Belanda pada tahun 1902. Program transmigrasi sejak itu tidak membawa dampak positif bagi kehidupan masyarakat asli Papua. “Sejak tahun 1902, Belanda menempatkan warga Jawa di Merauke untuk menggarap lahan pertanian, diikuti oleh kedatangan warga dari Timur pada tahun 1908. Namun, kehadiran mereka tidak memberikan dampak baik bagi masyarakat Papua,” ujar Pakage.
Pakage menambahkan bahwa transmigrasi hanya menyebabkan orang asli Papua semakin terpinggirkan dan menjadi minoritas di tanah kelahiran mereka. “Jumlah pendatang lebih banyak daripada orang asli Papua. Mungkin bagi negara hal ini menguntungkan, tetapi bagi orang Papua, ini menjadi ancaman bagi hak hidup mereka,” jelasnya. Ia juga menyoroti bahwa meski tanpa program transmigrasi dari pemerintah pusat, perpindahan penduduk ke Papua sudah terjadi secara alami namun dalam skala yang lebih kecil.
MRP Papua Tengah juga menyoroti persoalan ekonomi yang timbul dari tingginya jumlah pendatang. Pakage menilai banyaknya pendatang justru menciptakan kompetisi yang tidak seimbang di dunia kerja, di mana anak-anak transmigran dan warga asli Papua bersaing untuk mendapatkan pekerjaan di sektor usaha maupun birokrasi. “Banyak orang non-Papua yang datang belum mendapatkan pekerjaan. Kondisi ini membuat ruang hidup semakin sempit bagi masyarakat asli Papua,” ungkapnya.
Selain itu, Pakage menyoroti aspek budaya dan keagamaan, terutama terkait identitas Papua sebagai “Tanah Injil.” Menurutnya, jika program transmigrasi terus dilanjutkan, hal ini akan mengancam identitas Papua sebagai pulau yang sangat kental dengan nilai-nilai Kristiani. “Kami minta agar pemerintah menghentikan program transmigrasi ini karena dikhawatirkan akan mendatangkan pendatang non-Papua yang memiliki latar belakang agama berbeda dan mengancam keberadaan Papua sebagai Tanah Injil,” ujarnya.
Penolakan ini tidak hanya datang dari MRP Papua Tengah, tetapi juga mendapat dukungan dari mahasiswa Papua yang tersebar di seluruh Indonesia. Niko, mahasiswa asal Papua di Yogyakarta, menyoroti kekhawatiran tentang dampak sosial yang bisa muncul dari meningkatnya jumlah penduduk pendatang. “Kami khawatir eksistensi orang asli Papua akan semakin terpinggirkan dan berpotensi memicu konflik horizontal karena lonjakan penduduk yang tidak terkendali,” katanya.
Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Tengah meminta pemerintah pusat untuk mempertimbangkan aspek budaya, ekonomi, dan sosial masyarakat Papua sebelum melanjutkan program transmigrasi. (Malik)
0 Komentar