Yahukimo, Papua – Kasus penembakan warga sipil di Kabupaten Yahukimo kembali memicu gelombang protes dari masyarakat setempat. Front Justice for Tobias Silak, sebuah kelompok yang dibentuk untuk memperjuangkan keadilan bagi korban penembakan, mengeluarkan pernyataan sikap tegas pada 25 September 2024, terkait insiden penembakan yang terjadi pada 20 Agustus 2024. Dalam insiden tersebut, dua warga sipil menjadi korban, salah satunya Tobias Silak (22), seorang staf Bawaslu Kabupaten Yahukimo yang tewas di tempat. Korban lainnya, Naro Dapla, mengalami luka tembak di paha dan lengan.
Menurut pernyataan Front Justice for Tobias Silak, insiden penembakan dilakukan oleh oknum anggota Satgas Damai Cartenz yang bertugas di Pos Brimob Sekla. Mereka menyatakan bahwa penembakan ini merupakan puncak dari serangkaian kekerasan yang melibatkan aparat militer di Yahukimo sejak tahun 2021.
Kelompok ini juga mengungkapkan bahwa dalam kurun waktu empat tahun terakhir, jumlah penembakan terhadap warga sipil di Papua, khususnya Yahukimo, terus meningkat. Namun, para pelaku yang terlibat dalam insiden-insiden tersebut jarang diadili, bahkan dilaporkan beberapa dari mereka justru mendapatkan kenaikan pangkat dalam institusi militer.
Front Justice for Tobias Silak menyebutkan bahwa dari lima kasus penembakan yang melibatkan anggota Polres dan Kodim 1715 Kabupaten Yahukimo, tidak ada satu pun pelaku yang diproses hukum. Mereka menuntut agar pelaku penembakan Tobias Silak segera ditangkap, dipecat, dan diadili secara adil.
Selain itu, kelompok ini juga mendesak agar Kapolres Yahukimo dicopot dari jabatannya, dengan alasan kegagalan dalam menjaga keamanan di wilayah tersebut. Mereka meminta agar pos Brimob di Yahukimo ditarik dan seluruh personel militer organik maupun non-organik segera dikeluarkan dari wilayah tersebut.
Masyarakat Yahukimo yang tergabung dalam 12 suku turut mendukung tuntutan ini dan menolak praktik kekerasan yang disebut sebagai "bayar-membayar kepala manusia." Mereka berharap proses hukum yang adil dan transparan bagi keluarga korban.
Ketua Ikatan Suku Hubla, Meli Kobak, menekankan bahwa perjuangan ini bukan masalah politik, tetapi menyangkut kemanusiaan. "Egianus Kogoya mampu melepaskan sandera Pilot Susi Air, masa negara Indonesia tidak mampu menyelesaikan masalah yang diciptakan oleh aparat penegak hukumnya sendiri," ujar Kobak, mengkritik kinerja pemerintah dan aparat.
Front Justice for Tobias Silak berharap agar tuntutan mereka dapat dipahami dan ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum demi terwujudnya keadilan bagi para korban kekerasan di Yahukimo.
Insiden kekerasan yang berulang di Papua terus menimbulkan pertanyaan mengenai komitmen penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia di wilayah tersebut. (Kaki A
bu)
0 Komentar