Berita Terbaru

6/recent/ticker-posts

Guru Besar Hukum Uncen: Ekspresi Papua Merdeka Bukan Tindakan Makar

Jayapura, Olemah.com – Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih (Uncen), Prof. Melkias Hetharia, menyatakan bahwa ekspresi terkait Papua merdeka yang sering dilakukan oleh aktivis Papua secara damai bukan merupakan tindakan makar. Hetharia mengusulkan agar negara melakukan revisi terhadap pasal-pasal makar yang termuat dalam KUHP.

Hal ini disampaikan Hetharia dalam diskusi peluncuran laporan penelitian "Makar dan Tahanan Politik di Tanah Papua" di Kota Jayapura, Provinsi Papua, pada Jumat (26/07/2024). Menurutnya, istilah makar yang diatur dalam Pasal 104, 106, 107, 108, dan 110 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam bahasa Indonesia telah diartikan terlalu luas dan tidak sejalan dengan arti ‘aanslag’ dalam bahasa Belanda, yang digunakan penyusun Wetboek van Strafrecht (WvS) atau KUHP.

"‘Aanslag’ dalam bahasa Belanda berarti serangan, yaitu perbuatan fisik menggunakan kekuatan penuh untuk merebut kekuasaan. Orang berteriak merdeka kenapa harus dianggap makar? Hanya sebatas berteriak merdeka, menggambar bintang kejora, atau memakai kaos bintang kejora tidak seharusnya dikenakan makar. Duduk dan berbicara tentang kemerdekaan adalah hal biasa. Masak hukum pidana mau masuk ke pikiran manusia? Ada wilayah moral dan etika yang tidak perlu dimasukkan dalam pengaturan hukum pidana," ujar Hetharia.

Laporan penelitian "Makar dan Tahanan Politik di Tanah Papua" disusun oleh Aliansi untuk Demokrasi Papua (AlDP) dan Tapol. Laporan tersebut merupakan analisa terhadap 52 putusan kasus makar serta hasil wawancara dengan 16 akademisi, tahanan politik, aktivis, pengacara, dan tim non-litigasi. Wawancara dilakukan di berbagai kabupaten di Tanah Papua, termasuk Fakfak, Sarmi, Jayapura, Manokwari, dan Wamena.

Hetharia menjelaskan bahwa pasal makar yang sering dikenakan bagi aktivis Papua adalah pasal buatan Kerajaan Belanda untuk melindungi pemerintahan dan negara Belanda dari serangan kudeta dan revolusi. Pasal ini dirumuskan Kerajaan Belanda setelah melihat Revolusi Rusia. Saat Belanda menjajah Indonesia, mereka menggunakan pasal tersebut untuk memidana para pejuang kemerdekaan Indonesia.

"Pasal-pasal itu digunakan sebagai alat untuk menekan dan menindas pejuang-pejuang kemerdekaan," katanya.

Menurut Hetharia, pasca kemerdekaan Indonesia, Wetboek van Strafrecht (WvS) kembali diberlakukan, termasuk delik makar di dalamnya. Pemerintah Indonesia kemudian menggunakannya untuk menindas perjuangan kemerdekaan di beberapa provinsi, termasuk Papua.

"Berbicara soal merdeka saja ditangkap. Meskipun undang-undang subversif sudah dicabut, berbagai pasal makar masih diterapkan sampai sekarang," ujarnya.

Hetharia menegaskan bahwa penggunaan delik makar untuk memidana aktivis Papua yang menyatakan pendapat atau ekspresi merdeka secara damai adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya hak kebebasan berpikir dan berekspresi. Ia menyebutkan bahwa pasal makar bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, khususnya Pembukaan UUD 1945 alinea I.

"Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan Papua juga berhak meminta merdeka. Itu adalah hak asasi manusia yang harus dijunjung tinggi," ujarnya.

Hetharia menekankan bahwa negara harus menjunjung tinggi dan melindungi Hak Asasi Manusia. Menurutnya, pasal-pasal makar harus disesuaikan dengan perkembangan konsep Hak Asasi Manusia dan direvisi agar sesuai dengan konstitusi yang berlaku.

"Sebelum negara ada, HAM sudah ada. Negara bukan pemberi HAM, tetapi wajib melindungi dan menjamin HAM. Itu adalah eksistensi dan esensi hadirnya negara. Pasal makar harus ditinjau kembali sesuai dengan perubahan konstitusi yang sudah berlangsung. Pasal tersebut sudah tidak cocok lagi dengan konstitusi kita dan harus segera direvisi," tutupnya.


Posting Komentar

0 Komentar