Berita Terbaru

6/recent/ticker-posts

Masyarakat Adat di Merauke Desak Transparansi Perizinan Lahan oleh Pemerintah

Merauke, Olemah.Com – Masyarakat adat Maklew dan Kimahima di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan, mendesak Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian ATR/BPN, Gubernur Provinsi Papua Selatan, dan Bupati Merauke untuk transparan dan membuka semua data perizinan terkait lahan yang akan digunakan untuk investasi di wilayah mereka. Desakan ini muncul seiring dengan kekhawatiran masyarakat adat atas proyek Strategis Nasional berupa swasembada gula dan bioetanol yang dikerjakan oleh pemerintah.

Proyek tersebut, yang berlokasi di Kabupaten Merauke, mendapat perlawanan dari masyarakat adat yang khawatir kehilangan hak atas tanah adat mereka. Aktivitas kapal dan helikopter yang beroperasi di atas wilayah adat mereka diduga mengambil sampel tanah tanpa sepengetahuan masyarakat.

Pada tanggal 13 Juni 2024, masyarakat adat Maklew dan Kimahima mengadakan audiensi dengan DPRD Kabupaten Merauke untuk meminta kejelasan terkait kehadiran kapal dan helikopter tersebut. DPRD kemudian menyurati beberapa organisasi perangkat daerah terkait untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat, namun data valid tidak diberikan. Masyarakat kemudian meminta untuk bertemu langsung dengan Bupati Merauke.

Pertemuan dengan Bupati Merauke, Drs. Romaunus Mbaraka, pada tanggal 25 Juni 2024, tidak memberikan jawaban yang memuaskan bagi masyarakat adat. Bupati menyatakan bahwa belum ada surat resmi terkait investasi perkebunan tebu di wilayah Kimam maupun Irwayab, namun aktivitas kapal dan helikopter terus berlanjut tanpa dokumen resmi yang diberikan kepada masyarakat.

Pada tanggal 24 Juli 2024, masyarakat adat melanjutkan advokasi mereka ke Majelis Rakyat Papua Selatan (MRPS) dan mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Hotel Sunny Day Inn Merauke. Dalam RDP tersebut, masyarakat menolak segala bentuk investasi di wilayah adat mereka, meminta penghentian aktivitas kapal dan helikopter, serta mendesak transparansi perizinan dari pemerintah.

Idelfonsius Chambu, Koordinator Masyarakat Adat Kimahima dan Maklew, menduga adanya skenario atau informasi yang ditutup-tutupi oleh pemerintah. "Ada kapal yang masih berlabuh di antara wilayah adat Kimahima dan Maklew, yang di atasnya ada helikopter yang digunakan untuk mengambil sampel tanah tanpa penjelasan kepada masyarakat," katanya.

Pastor Pius Cornelis Manu, seorang tokoh masyarakat asli Papua dari Pulau Kimaam, menyatakan bahwa masyarakat adat menolak perusahaan yang ingin masuk ke tanah adat mereka. Menurutnya, masyarakat membutuhkan pemberdayaan ekonomi oleh pemerintah, bukan oleh perusahaan yang sebelumnya membawa banyak konflik sosial dan pelanggaran HAM.

Johnny Teddy Wakum, Ketua YLBHI LBH Papua Pos Merauke, menegaskan bahwa hak atas informasi merupakan hak masyarakat, sebagaimana diatur dalam Pasal 28f UUD 1945 dan Pasal 14 ayat (1) dan (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. "Pentingnya keterbukaan informasi harus didukung dengan data resmi dari Dinas ATR/BPN, DPMPTSP, dan Kementerian terkait," katanya.

Wakum menekankan bahwa dokumen perizinan, peta wilayah masyarakat adat, dan kajian lingkungan hidup strategis harus dibuka untuk masyarakat adat. Masyarakat adat Merauke terus memperjuangkan hak mereka atas tanah adat dan mendesak pemerintah untuk lebih transparan dan akuntabel dalam setiap proses perizinan lahan untuk investasi. (Malik)








Posting Komentar

0 Komentar