Tulisan terbaru yang membahas "Politik O Ukul vs Politik Partai" tidak lagi relevan. Peristiwa baru-baru ini membuktikan bahwa dominasi politik uang tidak bisa diabaikan. Praktik politik uang mempengaruhi masyarakat kecil (grass root) secara signifikan, baik sebagai pemilih maupun penyelenggara.
Pertemuan dan kesepakatan sebelum Pemilu tidak berpengaruh. Komitmen untuk menyatukan kekuatan demi melahirkan pemimpin yang diharapkan tampaknya hanya menjadi angan belaka. Aliansi dan kesepakatan di tingkat lokal untuk mempertahankan nilai-nilai o ukul, melibatkan berbagai aspek kehidupan seperti manusia, budaya, dan alam, hampir tidak memiliki arti.
Tindakan yang terjadi baru-baru ini menunjukkan bahwa banyak surat suara di tingkat provinsi, pusat, DPD, bahkan kabupaten/kota, dijual seperti barang dagangan di pasar malam. Telepon, pesan WhatsApp, dan komunikasi lainnya dipenuhi dengan tawaran transaksi jual beli suara, baik dari oknum penyelenggara maupun masyarakat umum. Keadaan ini sangat mengkhawatirkan dan kacau.
Surat suara bukan lagi alat demokrasi, melainkan menjadi komoditas dagangan dengan harga yang fantastis, bahkan mencapai puluhan juta rupiah. Ironisnya, pelakunya adalah anak-anak pribumi yang sebelumnya vokal dalam menyerukan perbaikan dan restorasi kehidupan masyarakat Papua, khususnya di wilayah Baliem, Wamena. Mereka yang seharusnya memahami ancaman dan tantangan masa depan daerah ini menjadi pelaku utama dalam perdagangan suara.
Fenomena politik o ukul ternyata hanya menjadi pemanis bibir, karena pada akhirnya semua berbicara dan bertindak serupa. Perubahan sosial dan modernisasi telah menunjukkan bahwa masyarakat di Wamena belum sepenuhnya siap menghadapi arus perubahan tersebut. Hal ini membuat mereka rentan terhadap manipulasi politik dan perubahan sosial yang tidak diinginkan.
Ancaman yang dihadapi oleh masyarakat Papua, seperti yang pernah diungkapkan oleh Hun Nico Lokobal dan Agus Alua, semakin nyata. Potensi terjadinya masyarakat anomie semakin mendekati jika situasi ini terus berlanjut.
Di masa depan, situasi diperkirakan akan semakin buruk. Wakil rakyat yang terpilih berpotensi didominasi oleh mereka yang memperoleh kursi melalui transaksi jual beli suara. Pertanyaannya, apakah masyarakat dan aktor politik dapat bertahan hidup selama lima tahun ke depan dengan uang hasil dari politik gelap tersebut? Apakah mereka siap untuk menjalani kehidupan tanpa perwakilan yang sah selama lima tahun ke depan?
Semua ini menjadi pertanyaan yang mengkhawatirkan. Harapan untuk menjadi tuan di negeri sendiri tampak semakin jauh. Era baru yang dihadapi masyarakat Wamena membawa risiko destruktif yang besar. Oleh Benyamin Lagowan
0 Komentar