Artikel diedit dan dipublikasikan oleh Lelemuku GO pada tanggal 09 Februari 2023
JAYAPURA, LELEMUKU.COM - Tim gabungan TNI-Polri pada Rabu (8/2/2023) menyatakan bahwa mereka masih mencari pilot berkebangsaan Selandia Baru yang disandera sehari sebelumnya di Papua oleh Egianus kogoya dan Pasukanya dan yang membakar pesawatnya di Kabupaten Nduga, sementara lima penumpang lainnya disebut telah dilepaskan dalam keadaan selamat oleh Egianus Kogoya.
Aparat juga mengatakan bahwa pada hari yang sama telah mengevakuasi 15 pekerja konstruksi pembangunan puskesmas yang disebut sempat diancam akan dibunuh oleh Pasukan Egianus. Mereka dikeluarkan dari Paro, distrik yang sama dengan wilayah dibakarnya pesawat.
“Aparat gabungan masih terus melakukan pencarian,” kata Komandan Korem Praja Wira Yakhti Brigjen Juinta Omboh Sembiring tentang Philip Mehrtens (37), pilot yang menerbangkan pesawat Susi Air itu.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo di sela-sela rapat bersama Panglima TNI di Jakarta mengatakan, kelima penumpang pesawat Susi Air yang dibakar telah dievakuasi setelah diselamatkan warga sekitar bandara, tapi keberadaan sang pilot belum diketahui.
“Untuk penumpang saat ini semuanya sudah bisa diamankan, sudah dievakuasi," kata Listyo.
Kantor Search and Rescue (SAR) Timika sempat menyatakan, sinyal GPS melacak Mehrtens terpantau menjauh dari bandara dan hilang di tengah hutan.
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), sayap militer Organisasi Papua Merdeka (OPM), mengatakan dalam sebuah pernyataan Selasa bahwa mereka tidak akan membebaskan Merthens “kecuali Indonesia membebaskan kami dari penjajahannya."
“Ceritanya tidak berakhir di sini,” kata juru bicara TPNPB Sebby Sambom dalam pesan suara yang dikirim ke BenarNews.
“Ini akan berlanjut sampai negara-negara seperti Selandia Baru, Australia, Amerika Serikat, dan Eropa berhenti mempersenjatai dan melatih Indonesia untuk membunuh kita selama 60 tahun.”
Sementara itu, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono menyangkal telah terjadi penyanderaan terhadap Mehrtens dan mengatakan pilot itu menyelamatkan diri usai pesawatnya dibakar.
"Enggak ada penyanderaan. Dia (pilot) menyelamatkan diri saja. Keberadaannya kami enggak tahu, tapi akan kami cari dan evakuasi," kata Yudo di sela-sela rapat gabungan bersama Polri.
Pemerintah Selandia Baru di Wellington mengatakan kepada BenarNews bahwa dukungan konsuler telah diberikan kepada keluarga pilot itu, tanpa berkomentar lebih lanjut.
Pesawat Susi Air beregistrasi PK-BVY tersebut sebelumnya terbang dari Mimika membawa lima penumpang pada pukul 05.33 WIT dan seharusnya kembali sekitar dua jam kemudian tapi tak kunjung datang hingga pukul 09.00 WIT sampai akhirnya ditemukan terbakar di Nduga
“Pasti trauma”
Sementara itu Pangdam Cenderawasih Mayjen Saleh Mustafa mengatakan bahwa 15 pekerja pembangunan puskesmas di Nduga tersebut kini tengah menjalani pemeriksaan medis di Kenyam, ibu kota Kabupaten Nduga.
"Evakuasi melibatkan aparat gabungan TNI-Polri menggunakan helikopter dan saat ini para warga sipil yang berhasil diselamatkan berada di Kenyam," kata Saleh dalam keterangan tertulis yang diterima BenarNews, tanpa merinci lokasi dan proses evakuasi para pekerja.
Saleh mengeklaim bahwa para pekerja sempat disandera kelompok Egianus.
Terkait hal itu, juru bicara TPNPB Sebby Sambom mengatakan klaim pembebasan 15 orang tersebut sebagai “omong kosong” karena kelompoknya tidak pernah menyandera mereka.
"TNI-Polri hanya mencari legitimasi saja untuk melakukan operasi bersenjata di sini (Nduga). Kalau kami betul-betul menyandera, tidak mungkin melepaskan mereka," kata Sambom kepada BenarNews.
Dikatakan Sambom, TPNPB hanya menyandera satu orang yakni pilot Susi Air.
"Kami hanya fokus bakar pesawat dan membawa pilot ke markas. Opini yang dibangun TNI itu jelas-jelas hoaks," katanya sembari menambahkan bahwa kelompoknya juga telah mengirim surat resmi ke Pemerintah Selandia Baru terkait penyanderaan Mehrtens.
Brigjen Juinta Omboh Sembiring mengatakan ancaman pembunuhan kepada pekerja tersebut disampaikan pemimpin TPNPB di Nduga, Egianus Kogoya.
Takut oleh ancaman tersebut, para sandera kemudian dibantu warga setempat melarikan diri hingga akhirnya dievakuasi oleh aparat keamanan, kata Sembiring.
"Saya rasa mereka pasti trauma sehingga saat ini kami berfokus untuk memulihkan kondisi mereka, baik secara psikis atau fisik," ujar Sembiring.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Theofranus Litaay kepada BenarNews mengecam dugaan penyanderaan terhadap pilot pesawat komersil serta para pekerja bangunan dengan mengatakan tindakan tersebut telah mengganggu kegiatan kemanusiaan di Nduga.
"Para pekerja membangun Puskesmas yang sangat dibutuhkan warga, pilot melayani rute yang disubsidi pemerintah untuk menunjang akses warga," kata Litaay.
"Pengusutan secara tuntas dan penegakan hukum kepada pelaku tindak pidana itu perlu dilakukan oleh polisi."
Transportasi udara sangat penting di Papua yang tertutup hutan, di mana jaringan jalan terbatas.
TPNPB kerap melakukan serangan terhadap pekerja dari luar Papua, terutama mereka yang terlibat dalam proyek infrastruktur pemerintah.
Tahun lalu, mereka membunuh delapan pekerja yang sedang memperbaiki menara telekomunikasi di Kabupaten Puncak.
Serangan tersebut adalah yang paling fatal yang terjadi di wilayah paling timur Indonesia itu sejak 2018, ketika anggota kelompok separatis menyerang pekerja yang sedang membangun jalan dan jembatan di Nduga, menewaskan 20 orang, termasuk seorang anggota TNI.
Saat itu, TPNPB menyebut mereka yang tewas bukanlah pekerja sipil, melainkan tentara dari detasemen zeni TNI AD.
Serangan itu mendorong pemerintah untuk mengirim lebih banyak pasukan ke Papua.
Pada 2019, lebih dari 40 orang tewas dalam kerusuhan di Papua setelah polisi menggerebek sebuah asrama di Surabaya dan menangkap puluhan mahasiswa Papua dengan tuduhan pelecehan bendera merah putih. Dalam video yang tersebar terkait kejadian itu, aparat terlihat menggunakan kekuatan yang berlebihan dan meneriakkan istilah rasis kepada warga Papua di asrama itu.
Pada tahun 1963, pasukan Indonesia menginvasi Papua, yang seperti juga Indonesia merupakan bekas jajahan Belanda, dan mencaplok wilayah itu.
Pada tahun 1969, di bawah pengawasan PBB diadakan referendum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Papua, yang dinilai manipulatif karena hanya diwakili oleh sekitar 1.000 orang yang disinyalir telah diinstruksikan untuk memilih tetap bergabung dengan Indonesia. Hasil dari Pepera itu menjadikan Papua bagian dari Indonesia hingga saat ini. (Victor Mambor / Arie Firdaus / Dandy Koswaraputra / Pizaro Gozali Idrus | BenarNews)
0 Komentar