Artikel diedit dan dipublikasikan oleh Kantor Berita Lelemuku pada tanggal 22 November 2022
JAYAPURA, LELEMUKU.COM – Tim Hukum dan Advokasi Gubernur Papua (THAGP) memastikan akan datang menghadiri pemeriksaan di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebagai saksi dalam Kasus dugaan Tindak Pidana Korupsi berupa Penerimaan hadiah atau janji Lukas Enembe selaku Gubernur Papua Periode 2013-2018 dan 2018-2023, terkait pekerjaan atau proyek yang bersumber dari APBD Provinsi Papua.
“Kami akan hadir dalam panggilan pemeriksaan selanjutnya di Gedung KPK. Sebagai warga negara yang baik dan advokat yang menjunjung tinggi supremasi hukum, kami akan datang, sebagai bukti ketaatan dan penghormatan kami atas hukum,” ujar Anggota THAGP, Dr. Stefanus Roy Rening dalam rilis pers pada Selasa (22/11/2022).
Seperti diketahui, dua Anggota THAGP, Dr. Stefanus Roy Rening, SH., MH. dan Drs. Aloysius Renwarin, S.H., M.H., dipanggil KPK, untuk diperiksa sebagai saksi dalam perkara gratifikasi, yang menjadikan Gubernur Papua Lukas Enembe, sebagai tersangka. Dalam pemanggilan pertama, kedua pengacara Lukas Enembe tersebut, meminta klarifikasi kepada KPK, terkait dengan maksud pemanggilan tersebut.
Ditambahkan Roy, dirinya dan Aloysius merupakan pengacara yang telah malang melintang puluhan tahun, dan sangat paham betul akan penghormatan hukum dan akan kooperatif
dalam pemanggilan KPK. Meski demikian, Roy kembali mengingatkan KPK bahwa, sebagai advokat, mereka dijamin dan dilindungi secara hukum, berdasarkan ketentuan Pasal 16 UndangUndang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Roy juga menjelaskan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam permohonan perkara 26/PUU-XI/2013, semakin dipertegas hak imunitas Advokat, baik di dalam maupun di luar pengadilan.
Pihaknya juga mempertanyakan pemanggilan mereka berdua sebagai saksi dalam kasus yang menjerat kliennya itu. Karena sebagai Advokat yang menangani kasus hukum Gubernur Papua, pihaknya mempunyai kewajiban untuk menjaga kerahasiaan kliennya.
Hal tersebut tertera secara tegas dalam Pasal 19 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang mengatur sebagai berikut: 1. Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari Kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang.
2. Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan
terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik Advokat. Ketentuan tersebut, kata Roy, dipertegas dalam Pasal 4 huruf h Kode Etik Advokat Indonesia.
Dimana dijelaskan bahwa : “Advokat wajib memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan oleh klien secara kepercayaan dan wajib tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antara Advokat dan klien itu.”
“Jadi berdasarkan ketentuan tersebut, kewajiban menjaga kerahasiaan tersebut, bahkan diperluas, bukan hanya rahasia klien yang masih ditangani saja, namun terhadap bekas klienpun, advokat wajib merahasiakan informasi terkait kasus kliennya tersebut,” ujar Roy.
Secara umum, kata Roy, kewajiban menyimpan rahasia jabatan dan profesi secara umum, juga diatur dalam Pasal 170 ayat (1) KUHP. Dimana disebutkan bahwa : “Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu
tentang hal yang dipercayakan kepada mereka”
Dapat dilihat dari peraturan tersebut, kata Roy, Advokat berhak untuk tidak memberikan keterangan atau kesaksian kepada polisi, kejaksaan atau pengadilan termasuk KPK terkait dengan kerahasiaan kliennya.
“Sehingga jelas Advokat tidak bisa dihukum, jika tidak memberikan keterangan/informasi menyangkut kasus kliennya, justru Advokat wajib melindungi rahasia kliennya itu,” tegas Roy. (THAGP)
0 Komentar